Emak Ingin Naik Haji: Sebuah Resensi Buku

Sebuah resensi yang telat, mungkin. Tapi, berada di negeri yang jauhnya delapan jam dengan menggunakan pesawat terbang dari negeri kelahiran, membuatku harus berusaha menahan diri mendapatkan buku ini. Apalagi setelah penggarapan filmnyapun usai, dan di milis pembaca asma nadia beramai-ramai saling mengajak untuk nonton bareng film ini, aku hanya bisa gigit jari. Mencoba mencari di youtube, ternyata hanya menemukan trailernya saja.

Jadilah saat mbak Asma Nadia ada kesempatan datang ke Tokyo untuk memenuhi undangan kepenulisan di Osaka, dan buku ini ditawarkan di milis FLP Jepang, aku ikut memesan. Sebenarnya, ingin ikut bertemu dengan mbak Asma yang juga mengisi sebuah acara di kedutaan besar Indonesia di Tokyo. Namun, apalah daya, hari itu bukanlah hari libur, sehingga tidak berada di lab pada hari itu bukanlah sebuah pilihan yang ‘baik’.

Aku memang kesengsem dengan buku bersampul biru ini. Bagiku, apapun yang berwarna biru telah membuat tautan hati yang begitu kuat. Akhirnya lewat seorang teman yang tinggal di Jepang, jadi juga aku mendapatkan buku ini. Begitu sampai di apartemen, langsung dibaca. Walaupun selesainya beberapa hari kemudian, karena membaca buku ini diselingi dengan kegiatan di kampus.

Buku ini terdiri dari beberapa kumpulan cerpen. Di awali dengan cerpen Emak Ingin Naik Haji,  lalu diikuti cerpen Cinta Begitu Senja, Koran, Jadilah Istriku, Cut Rani, Sepotong Cinta Dalam Diam, Jendela Rara, Laki-Laki yang Menyisir Rindu, Bulan Kertas, Sepuluh Juta Rupiah, Air Mata Bireun, dan diakhiri dengan cerpen Cinta Laki-Laki Biasa. Bagiku, cerpen terakhir ini begitu membekas, sejak dulu aku membacanya dari kiriman seorang teman, pun juga hingga saat ini, saat membaca kembali di buku kumpulan cerpen Emak Ingin  Naik Haji ini.

Rentetan cerpen di dalam kumpulan cerpen ini dihubungkan dengan sebuah kata: cinta setulusnya dari hati, kepada siapapun.  Seperti di cerpen Emak Ingin Naik Haji, tergambar cinta tulus seorang anak kepada ibundanya. Segigih jiwa, sepenuh hati, sang anak berusaha mewujudkan mimpi sang ibunda. Maka, membaca cerpen ini, juga ikut menerbangkan mimpiku bersama suami. Semoga suatu saat, mimpi kami diijabah oleh Sang Khalik.

Bukan hanya di cerpen Emak Ingin Naik Haji, ungkapan sepenuh hati kepada keluarga terungkap. Di beberapa cerpen yang lain, misalnya Koran, Jendela Rara, Laki-Laki yang Menyisir Rindu dan Bulan Kertas, cinta itu juga digambarkan dengan sempurna oleh Asma Nadia, meski di tengah keterbatasan kondisi ekonomi atau pahitnya kenyataan hidup yang mesti dilewati.

Di sisa cerpen yang lain, cinta setulus hati itu, adalah wujud sebuah ungkapan hati pada penerimaan sepenuh jiwa tentang kondisi pasangan hidup, yang tentu saja diiringi dengan ritme dan riak kehidupan. Kematian pasangan hati adalah getaran jiwa yang membuat hidup mungkin seakan berakhir, maka seorang Asma Nadia mampu membangun riak kehidupan itu dengan menggugah jiwa. Aku salut.

Tapi, melihat pengalaman Asma Nadia dalam dunia tulis menulis, rasanya bisa menerima jika seluruh cerpen yang terkumpul dalam buku kumpulan cerpen ini menggugah jiwa. Bagiku, seluruh cerpen di buku ini mewakili semua kondisi masyarakat Indonesia. Realitas kehidupan masyarakat kita ditulis dalam bahasa cerpen yang menggugah jiwa, dan itu membuat anggukan dagu semakin kuat dan sederatan tanya mengemuka: apakah yang telah kulakukan untuk masyarakat sekitarku? Sebuah pertanyaan yang meninggalkan pekerjaan rumah untuk menjawabnya. Untuk diri sendiri.

Aku adalah pembaca yang rewel. Selalu mempunyai komentar jika membaca sebuah buku. Entah isinya. Entah pemaparannya. Entah ejaannya. Walaupun kadang, rewelan itu hanya diutarakan kepada suami. Namun, membaca buku ini, dua acungan jempol aku berikan untuk seluruh kru penyusun buku ini. Bagiku, buku ini, benar-benar tanpa kesalahan teknis, baik tulisan maupun tanda baca. Ukuran dan pilihan hurufnya juga membuat mataku tidak lelah menyusuri kata demi kata sehingga cerpen terakhir. Aku penasaran. Tapi, penasaran itu terjawab setelah membaca nama editor ahli untuk buku ini. Helvy Tiana Rosa, sang kakak, ternyata juga berperan serta dalam penyusunan buku ini sebagai editor ahli. Salut itu semakin bertambah.

Kalaupun ada sedikit ganjalan yang tertinggal di hati, itu adalah lembaran-lembaran iklan yang berada di halaman belakang buku ini. Namun, setelah mengungkapkan rewelan aku kepada suami dan jawaban suami adalah “mungkin iklan-iklan itu adalah sumber pembiayaan penerbitan buku ini, Fey“, ganjalan itu menjadi menipis. Mungkin, pendapat suami benar. Penerbitan sebuah buku tentu memerlukan biaya yang banyak, apalagi buku ini adalah terbitan sendiri penerbit milik sang penulis.

Maka, aku hanya bisa berujar, jika ingin menemukan gugahan jiwa tentang realitas kehidupan di sekitar kita melalui bahasa cerpen, nikmatilah buku ini. InsyaAllah tidak akan rugi. Akan ada embun yang menyisir ruang hati setelah menyelesaikan membaca buku ini.

@home, Jan 2010

29 pemikiran pada “Emak Ingin Naik Haji: Sebuah Resensi Buku

  1. Ping balik: Asma Nadia dan Polling Anugerah Pembaca Indonesia | Fety

  2. Salam kenal Mbak Fety,

    Sy Adenin Adlan, Sy menemukan blog ini ketika searching di google ttg film EINH.

    Sy menawarkan untuk teman-teman FLP Jepang untuk nobar film “EINH” dan “Rumah Tanpa Jendela” sekaligus workshop ttg penulisan skenario film.

    Kegiatan ini sebelumnya sudah pernah kami lakukan di FLP Hongkong dan Alhamdulillah sukses, sehingga bulan januari 2011 nanti FLP HK akan bekerjasama lagi dengan memutar film terbaru kami yaitu film anak musikal “Rumah Tanpa Jendela” yang diangkat dari cerpen “Jendela Rara” karya mbak Asma Nadia juga.

    Ini baru test cam film RTJ, bukan teaser.

    Teaser belum jadi, msh diisi musik.

    Ini link FLP Hongkong :
    http://ddhongkong.org/2010/11/flp-hong-kong-gelar-pemutaran-film/

    Untuk detail kerjasamanya bisa kita bicarakan lebih lanjut by email adeninadlan@yahoo.com.

    Terima kasih.

  3. jadi harus beli dong ya? ^.^
    Insya Allah kalo ke toko buku deh, kebetulan “negeri 5 menara” sudah setengah terbaca. harus siap2 dengan bacaan berikut 🙂

    apa kabarnya di jepang mbak fety?
    di jakarta cuacanya sudah mulai tidak menentu nih.
    seharian bolak-balik panas-mendung-panas-mendung.
    jadi harus selalu bawa payung, karena bisa hujan turun tiba2 dan lebat pula 🙂

    • alhamdulillah di Jepang kemarin turun salju, bund:)
      ayo, bund, beli. btw, fety belum baca negeri 5 menaranya. Masih ada gak yah waktu pulang nnt?:D
      Ah, pinjam bunda bingkie aja yah he..he..

  4. Aku ada nulis resensi film-nya di blogku… udah siap2 mau nonton, tapi ternyata di kotaku film ini tergusur oleh film hollywood yang saat itu lagi booming banget. Jadinya belum nonton deh 😦
    Insya Allah mau nyari bukunya aja 🙂

  5. Selamat pagi Fey..! Bundo datang ke rumahmu pake baju biru niyh.. hehe.

    Alhamdulillah meski jauh di negeri orang fey tetap bisa menikmati hasil karya penulis tanah air. Sayang ya ngga sempat ketemuan sama mba Asma Nadia. Bundo juga belum pernah ketemu, paling cuman temenan di facebook ajah. mba Helvy dan mba Asma memang luar biasa.

  6. hmm, aku penasaran pengin liat filmnya saat lihat iklan di EraMuslim. ternyata berasal dari buku kumpulan cerpen tho.. fety, mudah2an impianmu bersama suami dikabulkan, amiin. aku dan suami juga punya impian sama seperti Emak. tak ada yg tak mungkin bukan? 🙂

    • Buku kumpulan cerpen itu diterbitin setelah filmnya beredar, yani. Sebelumnya, cerpen Emak Ingin Naik Haji itu sudah pernah dimuat di Majalah Noor. Iya, yah..benar, yang penting niat, usaha dan doa 🙂

Tinggalkan Balasan ke sauskecap Batalkan balasan